Mengenal Islam Aboge

21-May-2018 | sorotnuswantoro indonesia

Istilah Islam Aboge mengacu pada komunitas yang menjadi generasi dari para santri Mbah Kyai Nurkasim. Mereka adalah generasi pertama yang membuka desa Ujungmanik (trukah) di bagian utara desa. Mbah Nurkasim sendiri adalah salah satu dari santri yang berasal dari sebuah pesantren di wilayah Pasir Luhur (masuk wilayah Banyumas). Dari sinilah muncul istilah santri Pasir, istilah ini terus berkembang hingga menjadi sebuah sebutan bagi komunitas Islam Aboge. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ridhwan (2008) mengenai Islam Blangkon di Cilacap, pendiri dari komunitas Islam Blangkon berasal dari Desa Pasir Luhur yang merupakan bekas kekuasaan Kerajaan Pajajaran.Maka ada benang merah antara komunitas Islam Aboge dan Komunitas Islam Blangkon, yaitu keduanya berasal dari satu pesantren yang sama yang terletak di Pasir Luhur. Sehingga ada kesamaan sumber dalam pola-pola keyakinannya. Selain itu paham ini juga terdapat di daerah Menganti, Adi­pa­la dan Kelurahan Kutawaru.

Dari penelusuran data yang peneliti lakukan hingga ke Desa Cikakak Kecamatan Wangon ditemukan data bahwa di daerah ini istilah Santri atau Islam Pasir tidak dikenal, yang ada adalah istilah Islam Aboge. Hal ini seperti disebutkan oleh kayim (ketua) Supandi, yang mengatakan bahwa penamaan ini (Islam Pasir) tidak benar. Sehingga mereka lebih senang disebut dengan Islam Aboge.

Dari wawancara dengan Bapak Abu Sujak diperoleh informasi bahwa Komunitas Islam Abogedi Desa Ujung Manik telah ada sejak awal berdirinya Desa Ujung Manik. Hal ini diperkuat oleh sesepuh desa ini, Bapak Madgaswin, katanya desa ini dibuka oleh dua orang tokoh agama yaitu Mbah Kyai Nurkasim dan Mbah Haji Husain. Kedua tokoh ini memiliki para pengikut yang terdiri dari murid-murid mereka atau lebih tepatnya santri-santri mereka.

Mbah Haji Husain membuka desa (trukah) di sebelah barat desa, sementara Kyai Nurkasim di sebelah timur. Pada awalnya pemahaman keislaman di antara keduanya tidak jauh berbeda, namun ketika pemerintah Belanda mewajibkan dan menetapkan keharusan mengikuti hari raya yang telah ditetapkan maka mulailah perbedaan dalam menetapkan hari raya ini berbeda.Pihak Kyai Nurkasim bersikukuh tetap memegang penghitungan penanggalan Aboge sebagai penetapan awal Ramadhan, Syawal dan juga hari raya Idhul Adha. Sementara Haji Husain dan para santrinya memilih mengikuti ketetapan oleh pemerintah Belanda.

Namun pendapat ini sulit diterima karena perbedaan dalam hal tarekat juga bisa menjadi bahan analisa. Jama’ah Islam Aboge menjalani tarekat Syattiriyyah sementara penduduk desa Ujungmanik pada umumnya adalah pengikut tarekat Qadariyyah Naqsabandiyah. Bila kita runut lebih jauh maka dua tarekat ini memiliki suluk tersendiri yang saling berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Di masyarakat Ujungmanik antara santri-santri Mbah Kyai Nurkasim dan Mbah Haji Husain adalah dua kubu yang berbeda, komunitas pengikut Mbah Kyai Nurkasim yang kini dikenal dengan Islam Aboge biasa disebut Islam aliran merah, sedangkan Mbah Haji Husain para pengikut Mbah Haji Husain dikenal dengan Islam aliran putih. Dalam bidang tarekat, Komunitas Islam Abogemengikuti Suluk Syekh Siti Jenar yaitu Tarekat Syatariyyah. Tarekat ini berkembang pesat di ”wilayah-wilayah merah” yaitu wilayah di Jawa, khususnya Jawa Tengah dengan mayoritas Islam Abangan. Tarekat ini menjadi salah satu karakter khusus yang ada pada mereka. Secara umum tarekat yang berkembang di desa Ujungmanik adalah Tarekat Naqsabandiyyah Qadiriyyah. Maka bisa dipahami jika komunitas Islam Abogedianggap berbeda dengan sebagian besar tokoh agama di Ujungmanik. Tarekat Syatariyyah yang dianut oleh Komunitas Islam Abogeadalah sebuah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad ke-15 M. Tarekat ini dinisbahkan kepada Abdullah as -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen salah seorang ahli antropologi,menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di Jawa dan Sumatra. Ini berarti tarekat ini disebarkan oleh para Sufi yang menyebarkan pahamnya ke Indonesia. Hubungan antara satu komunitas dengan yang lainya dalam tarekat ini tidak saling berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling “mempribumi “di antara tarekat yang ada Dari penelusuran yang peneliti lakukan, model tarekat Syatariyyah yang dilaksanakan oleh Komunitas Islam Abogememiliki lelaku yang bersifat personal dan tertutup. Sebenarnya secara umum model-model tarekat yang ada di Indonesia juga tidak akan menceritakan bagaimana pengalaman Kasyaf yang mereka alami. Demikian juga pada tarekat Syatiriyah, mereka akan merahasiakan setiap pengalaman spiritual mereka. Dari wawancara mendalam dengan salah satu anggota jama’ah Tarekat Syatariyyah, disebutkan bahwa mereka memiliki model suluk dengan cara berdzikir dengan mengucapkan dengan La ilaha illa Allah sebanyak 99 kali, selanjutnya menekan bola mata dengan kedua ibu jari. Dengan ini diharapkan mata dzahir kita tertutup dan mata hati kita terbuka, sehingga akan mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat, semisal melihat nabi dan bahkan melihat Allah ta’ala. Secara implisit anggota lainnya mengiyakan metode ini hanya tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat, ”Ya..... ora kaya kue carane” ”Ya... tidak sampai begitu caranya” kata Pak Abu Kasan. Maka komunitas Islam Abogemeyakini bahwa Allah ta’ala dapat ”dihadirkan” dalam saat-saat tertentu, yaitu ketika dzikir-dzikir tertentu dilafadzkan. Tidak hanya itu, dengan melakukan ritual tertentu seorang manusia dapat menyatu dengan Tuhan sebagai bentuk dari puncak spiritual tarekat mereka.

Tags