Cikal Bakal Kabupaten Purbalingga

05-May-2018 | sorotnuswantoro indonesia

Orang Onje mengklaim dirinya keturunan langsung raja Pajang melalui putri

Menoreh yang sedang hamil empat bulan yang diserahkan kepada Ki Tepus Rumput

(versi lain Syekh Maulana Maghribi). Pengakuan semacam ini penting bagi suatu

pusat di lokalitas tertentu agar mereka beserta keturunannya dapat lebih eksis dan

melewati masa kekuasaan yang panjang sehingga mereka akan bisa melegitimasikan

diri sebagai penguasa lokalitas yang sah. Oleh karena itu, Babad Onje senantiasa

menghubungkan diri dengan penguasa pusat yang lain seperti kadipaten Cipaku

dan Medang (versi lain Pasirluhur), bahkan pusat kerajaan Jawa yang berkuasa

pada masa itu sehingga nama-nama raja itu disebut secara berurutan seperti tampak

pada teks Babad Onje, yaitu Sultan Pajang, Ki Ageng Mataram, Pangeran Sayidiyah

Kemuning, Pangeran Sayidiyah Krapyak, Sultan Kuwasa, Suhunan Plered, Suhunan

Mas, dan Suhunan Paku Buwana (Purwaningsih 1986: 20-21). Penyebutan rajaraja

itu memang tidak konsisten, terutama nama dan gelarnya, bahkan nama

Mangkurat Amral tidak disebutkan. Tampaknya keberadaan raja-raja tersebut itu

penting karena Susuhunan Mangkurat Mas atau Mangkurat III pernah mengambil

gadis Onje sebagai salah seorang selirnya (Teeuw tt: 22). Teks Babad Tanah Jawi

edisi Meinsma menyatakan bahwa Pangeran Adipati Anom yang sudah memiliki

istri utama (raden ayu adipati) kehidupannya tidak akur dengan istrinya itu karena

Adipati Anom mengambil dua orang selir, yaitu satu keturunan orang Kalang dan

yang lainnya berasal dari Onje (Olthof 1941: 247). Rupanya gadis Onje ini bisa

merebut cinta kasih Adipati Anom sehingga statusnya dinaikkan menjadi garwa

meskipun Raden Ayu dari Kapugeran itu terkenal kecantikannya. Namun, Raden

Ayu akhirnya dikembalikan kepada ayahnya, yakni Pangeran Puger dan gadis Onje

itu diangkat kedudukannya dengan nama Ratu Kencana (Olthof 1941: 250-262).

Ketika Pangeran Puger menjadi raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwana I,

Kadipaten Onje menurut teks Babad Onje itu berakhir. Keberakhiran Onje sebagai

kadipaten kemudian statusnya menjadi desa perdikan di bawah kekuasaan Kiai

Ngabehi Denok di Pamerden. Ki Pangulu Onje (Kiai Ngabdullah) ditetapkan sebagai

orang yang mengurusi perdikan dengan wilayah Tuwanwisa, Pesawahan, dan Onje,

206

serta berkewajiban memelihara makam leluhur di Onje dan mendirikan salat Jumat

Demikianlah sekilas gambaran Onje secara umum sebagaimana dilukiskan oleh

teks Babad Onje. Teks tersebut, sebagai suatu karya sejarah masa lalu Onje, perlu

dijelaskan keberadaannya karena teks tersebut masih eksis, baik dalam bentuk

naskah, manuskrip, maupun tradisi lisan (folklor). Babad Onje yang disebut di atas

adalah teks yang terkandung dalam naskah yang dimiliki atau tersimpan oleh S.

Warnoto, seorang penduduk desa Onje yang secara tradisi berhak menyimpan

naskah. Ia adalah kakak kepala desa Onje Soepono Adi Warsito yang mempunyai

dua orang anak laki-laki. Seseorang yang mempunyai dua orang anak laki-laki berhak

menyimpan naskah Babad Onje tersebut (Purwaningsih 1986: 5). Naskah pegon

yang berukuran 10,5 X 8,5 cm dan tebal 137 halaman (30 halaman di antaranya

kosong) menyatakan judulnya Punika Serat Sejarah Babad Onje. Naskah tersebut

setiap halamannya berisi 7 baris dengan teks berbahasa Jawa (Purwaningsih 1986:

Babad Onje, sebagai produk kebudayaan, tampaknya merupakan teks yang

menjelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal masyarakat Onje dengan segala pengaruh

kekuasaan politiknya. Kesejarahan Onje diakui oleh kalangan yang lebih luas berkat

hadirnya teks Babad Onje tersebut. Tanpa adanya teks Babad Onje, masyarakat

yang hidup di lokasi tersebut tidak mengakui kehadiran Onje di tengah-tengah

interaksi sosial. Hal itu berbeda dengan Cipaku yang dikenal sebagai rival Onje.

Cipaku sebagai daerah kadipaten memang tidak disebut dalam teks Babad Onje

sebagai daerah bagian Onje. Jadi, Cipaku berdiri sendiri sebagai kadipaten yang

setara dengan Onje. Namun, Onje lebih menonjol karena mereka menghasilkan

Babad Onje, sedangkan Cipaku tidak memiliki karya yang serupa untuk menunjukkan

eksistensinya. Anehnya, masyarakat Cipaku justru menghasilkan naskah yang sejenis

dengan Babad Onje, yaitu naskah yang berjudul Serat Sejarah Rupi Onje. Naskah

tersebut merupakan koleksi Baruna, seorang yang menjabat sebagai Penatus Cipaku,

Kecamatan Mrebet (Darmosoetopo, 1977). Kiranya naskah produk Cipaku tersebut

adalah naskah salinan dari milik S. Warnoto. Istilah rupi yang dipakai mengisyaratkan

adanya proses penyalinan langsung. Perbandingan teks di antara kedua naskah

memang menunjukkan bahwa naskah yang kedua disalin dari naskah yang pertama.

Berdasarkan naskah Cipaku, dapat dinyatakan bahwa pengaruh Babad Onje

cukup meluas dan melewati batas-batas wilayah kadipaten atau perdikan Onje

sebagaimana yang disebut di dalam teks tersebut, termasuk di antaranya adalah

Cipaku. Bahkan, di kemudian hari teks Babad Onje dipakai sebagai suatu pengantar

terhadap teks yang baru, yang berkaitan dengan keluarga para bupati Purbalingga

sehingga teks Babad Purbalingga lahir. Kelahiran teks tersebut disebabkan adanya

hubungan kekerabatan bupati Purbalingga dengan Onje melalui tokoh Arsantaka

yang diyakini oleh penulis Babad Purbalingga bahwa tokoh Arsantaka adalah anak

Adipati Onje, Ore-ore dengan Nyai Pingen, setelah kasus pembunuhan kedua orang

istri sang adipati tersebut yang berasal dari Medang dan Cipaku. Ada fenomena

yang menarik di sini karena Babad Onje dipakai sebagai alat legitimasi yang baru.

Babad Onje tidak lagi hanya sebagai alat pengesahan dan penegasan terhadap

keberadaan masyarakat Onje pada masa lampau, tetapi juga sebagai legitimasi asalmula

para bupati Purbalingga setelah ada dua orang keturunan Banyumas yang

mengawali jabatan tersebut. Para bupati Purbalingga tampaknya lebih memilih Onje

daripada dua pusat yang lain, yakni Cahyana dan Wirasaba. Wirasaba sebagai pusat

yang lebih tua daripada Onje kelihatannya sudah dipakai oleh keturunan para bupati

Banyumas sehingga Purbalingga merelakan diri untuk melepaskan hubungan

psikologisnya dengan Wirasaba karena kedudukan Wirasaba lebih dekat dengan

Banyumas daripada Purbalingga. Hal itu sudah disadari oleh Purbalingga sehingga

mereka harus mencari pusat lain yang masih bebas dari klaim keluarga yang lain.

Klaim orang Banyumas yang terlalu kuat terhadap Wirasaba membuat orang

Purbalingga kehilangan. Padahal, Wirasaba sebagai pusat yang tertua keberadaannya

sangat penting bagi Purbalingga, tetapi akibat klaim Banyumas, maka mereka

mencoba melepaskan hubungan mereka dengan Wirasaba. Purbalingga menciptakan

tokoh baru, yakni Arsantaka (Wangsantaka) dan Yudantaka sebagai penghubung

Purbalingga dengan Onje meskipun hubungan itu diragukan. Untuk menyaingi

Banyumas mereka menjelek-jelekkan dua orang tokoh Banyumas yang pernah

berkuasa di Pamerden, yaitu Ngabehi Dipayuda I atau Dipayuda Seda Jenar dan

Dipayuda II atau Dipayuda Seda Banda. Persaingan keluarga Arsantaka dengan

keturunan Ngabehi Dipayuda I menyebabkan munculnya tabu nikah di antara keluarga

tersebut yang dilontarkan dari pihak Ngabehi Dipayuda Seda Jenar karena keluarga

tersebut merasa menjadi korban permainan ilmu hitam. Keluarga Arsantaka merasa

kehadiran keluarga Dipayuda I bisa mengganggu kedudukan mereka. Ngabehi

Dipayuda I sebagai adik Tumenggung Yudanegara III, bupati Banyumas disebut

juga di dalam teks Babad Onje dengan nama Ngabehi Denok, sedangkan Dipayuda

II sering disebut Dipayuda Gabug. Tokoh Dipayuda yang kedua ini adalah putra

Tumenggung Yudanegara III yang di dalam teks Babad Banyumas disebut orang

yang meninggal karena Seda Banda ‘terkena penyakit kelamin’ sehingga ia dikenal

tidak meninggalkan keturunan yang pantas menggantikan kedudukannya. Justru yang

menjadi penggantinya adalah Dipayuda III yang disebut berasal dari keturunan

Demang Panggendolan, Arsantaka.

Cukup jelas bahwa keturunan Banyumas atau lebih dekatnya keturunan

Wirasaba di Purbalingga harus disingkirkan pengaruhnya agar nama Arsantaka lebih

harum daripada keturunan Yudanegara III. Teks Babad Banyumas agaknya juga

ikut mengharumkan nama Arsantaka yang dikatakan sebagai salah seorang demang

yang cukup heroik dalam peristiwa Perang Mangkubumen. Ketika Ngabehi Dipayuda

208

I dan beberapa demang gugur di medan perang, Arsantaka ini justru yang selamat

dari cengkeraman maut, bahkan ia menjadi orang yang sangat berjasa karena ia

berhasil menemukan jasad Ngabehi Dipayuda I yang diserahkan kepada kakaknya,

yaitu Tumenggung Yudanegara III. Karena jasa-jasanya itu, anak Arsantaka yang

bernama Arsayuda dijadikan patih untuk mendampingi Dipayuda II. Anak Arsantaka

juga dijadikan menantu oleh Tumenggung Banyumas tersebut sehingga lengkaplah

kedudukan Arsantaka dan putranya di Purbalingga. Namun, istri dari Banyumas itu

tidak ditonjolkan meskipun kedudukannya lebih tinggi daripada Arsayuda sendiri.

Penggeseran istri dari Banyumas itu dilakukan agar keturunan Banyumas tidak

menonjol lagi di Purbalingga sebagaimana hal itu juga sudah dilakukan terhadap

Dipayuda I dan Dipayuda II. Istri yang derajatnya lebih rendah yang berasal dari

putri Kanduruan I Roma itu ditampilkan sebagai pihak yang menurunkan para bupati

Purbalingga selanjutnya. Dengan demikian, Purbalingga benar-benar berusaha dengan

keras untuk menyingkirkan pengaruh Banyumas dan Wirasaba. Purbalingga sudah

berhasil menampilkan Arsantaka dan Arsayuda sebagai cikal-bakal yang baru dengan

menggeser Wirasaba sebagai pusat yang tertua. Dengan kata lain, Wirasaba tidak

mempunyai makna kesejarahan dengan para bupati Purbalingga. Purbalingga hanya

mengakui bahwa dahulu ada Wirasaba yang sekarang masuk wilayah Kecamatan

Bukateja.

Onje lebih berarti kedudukan dan hubungan kesejarahannya daripada Wirasaba.

Maka dari itu, Onje juga memerlukan klaim yang kuat dengan cara menghubungkan

diri dengan beberapa keluarga sebagai bentuk interaksi sosial, yaitu dengan Cipaku,

Medang, dan Arenan. Hubungan tersebut sangat mencolok sebagaimana dituturkan

oleh folklor yang berasal dari lokalitas tersebut, yaitu para pewaris aktif folklor yang

meliputi Go Tien Tjwan, kepala desa Mangunegaran, dan Sanurji (Penatus Onje).

Ketiga versi folklor tersebut menyatakan adanya hubungan perkawinan antara Adipati

Onje (Ore-ore menurut versi pertama dan kedua, sedangkan versi ketiga adalah

Cakrakusuma) dengan putri dari ketiga kadipaten. Putri yang pertama dikenal

dengan nama Pakuwati atau Dewi Pakuwati, putri Adipati Cipaku. Menurut ketiga

orang penutur folklor tersebut, istri dari Cipaku inilah yang memberi keturunan kepada

Adipati Ore-ore. Versi pertama dan ketiga menyebut ada lima orang anak yang

tinggal di Tegal, Cirebon, Ciamis, Cilacap, dan Onje, sedangkan versi kedua menyebut

enam orang yang tinggal di Gondokusuma, Cilacap, Cirebon, Tegalarum, Ciamis,

dan Mangunegara. Ketiga versi sepakat bahwa istri yang kedua tidak memiliki

keturunan. Namun, agaknya istri yang kedua tadi berasal dari kadipaten yang cukup

dikenal dengan luas. Versi pertama menyatakan bahwa istri kedua itu berasal dari

Medang atau Pasirluhur sehingga disebut nama dirinya, yaitu Dewi Medang. Versi

kedua menyebut nama Kalinggawati yang berasal dari Keling, sedangkan versi ketiga

hanya menyebut istri kedua berasal dari Kalingga. Di samping kawin dengan kedua

putri tadi, Adipati Ore-ore juga menikah dengan putri Adipati Arenan yang secara

sepakat disebutkan oleh ketiga orang sumber folklor, yaitu Nyi Pingen (versi pertama),

Raden Ayu Pingen atau Paingan (versi kedua), atau Nyi Paingan (versi ketiga). Nama

Pingen atau Paingan ini kiranya berpengaruh terhadap topografi lokal karena nama

itu juga dipakai untuk nama sungai yang mengalir di sebelah selatan desa Onje yang

membatasi desa itu dengan Cipaku (Tohirin 2001: 26). Dari istri yang ketiga inilah,

Adipati Ore-ore mendapatkan dua orang anak laki-laki menurut versi pertama dan

kedua, sedangkan versi ketiga tidak menyebutkan masalah tentang hal itu. Versi

kedua menyatakan bahwa kedua anak lelaki itu adalah Wangsantaka (Arsantaka)

yang tua dan Yudantaka yang muda. Versi pertama menyebut secara terbalik, yaitu

Yudantaka yang tua yang tinggal di Kalimanah sebagai petani, sedangkan yang muda

adalah Arsantaka yang menjadi pejabat demang di Panggendolan (wilayah

Kabupaten Banjarnegara). Akibat dibunuhnya istri pertama dari Cipaku dan kedua

dari Pasirluhur (atau Medang atau Kalingga), maka muncul reaksi yang cukup keras

dari Cipaku. Pasirluhur tidak bereaksi seperti halnya Cipaku. Kemungkinan Pasirluhur

tidak lagi mempersoalkan masalah pembunuhan itu lebih lanjut. Reaksi Cipaku inilah

yang memunculkan adanya pantangan atau tabu nikah atau saling berbesanan antara

Cipaku dengan Onje. Ketiga versi folklor sepakat dengan tabu tersebut, hanya ada

tambahan yang perlu dijelaskan dari versi pertama dan kedua. Tambahan pada versi

pertama menyatakan bahwa tabu itu tidak dimutlakkan, atau dengan kata lain tidak

berlaku jika kedua desa itu mempunyai dua pasang kakak-beradik laki-laki dan

perempuan atau silang laki-laki dan perempuan dengan perempuan dan laki-laki.

Cara menghambarkan atau meniadakan tabu semacam itu disebut tambangan.

Peniadaan tabu hanya disebut oleh versi yang pertama, sedangkan versi yang kedua

justru menambahkan tabu, yaitu orang Onje tidak boleh mempunyai dua orang istri

pada waktu yang bersamaan. Ketiga folklor di atas rupanya juga sepakat bahwa

tabu nikah itu dinyatakan oleh Adipati Ore-ore dan bukan Adipati Cipaku (Balai

Penelitian Sejarah dan Budaya 1981-1982: 52-54).

Tags