Blunder Pssi, Menunda Kongres Pemilihan Dengan Alasan Bencana Alam : Kepentingan Apalagi?

Blunder Pssi, Menunda Kongres Pemilihan Dengan Alasan Bencana Alam : K
11-Dec-2025 | sorotnuswantoro Jakarta

Keputusan PSSI untuk menunda Kongres Biasa Pemilihan Asprov di seluruh Indonesia—sebagaimana tertuang dalam surat bernomor 6794/PGD/894/XII-2025 menghadirkan pertanyaan besar di tengah publik sepak bola nasional.

Penundaan ini bukan hanya menyangkut aktivitas organisasi internal, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan pada tata kelola persepakbolaan Indonesia yang hingga kini terus berupaya memulihkan wajahnya.

Di antara alasan yang dikemukakan PSSI, terdapat poin mengenai kondisi bencana alam yang melanda beberapa wilayah, terutama Aceh dan Sumatera.

Namun ironisnya, ketika pemerintah tidak menetapkan kondisi tersebut sebagai bencana nasional, PSSI justru menjadikan situasi itu sebagai dasar penundaan pemilihan pengurus daerah.

Hal ini menimbulkan dilema: apakah PSSI menilai situasi lebih genting daripada penilaian pemerintah, ataukah alasan tersebut hanya menjadi “tameng” administratif untuk memperlambat proses demokratisasi organisasi?

Alasan lainnya mulai dari revisi Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), penguatan kerja sama lintas kementerian/lembaga terkait pemanfaatan APBD, hingga sosialisasi Statuta dan Peraturan Organisasi PSSI edisi 2025 memang terdengar relevan.

Namun justru di sinilah kritik terbesar muncul. Jika dokumen dan regulasi baru sedang disosialisasikan, bukankah seharusnya PSSI justru mempercepat pembentukan struktur Asprov yang lebih siap menerima dan mengimplementasikan perubahan tersebut?

Mengapa proses pemilihan dihentikan sementara, padahal konsolidasi justru lebih efektif dilakukan dengan kepengurusan baru yang akan menjalankan aturan baru?

Penundaan ini menimbulkan kesan bahwa PSSI kembali terjebak pada persoalan klasik: minimnya transparansi dalam proses internal. Publik sepak bola Indonesia sudah terlalu sering menyaksikan dinamika organisasi yang berjalan lambat dengan alasan administratif, namun berdampak besar pada percepatan pembinaan dan kompetisi di daerah.

Di tengah upaya perbaikan yang terus digembar-gemborkan, keputusan menunda kongres di seluruh Indonesia tanpa garis waktu yang jelas terasa sebagai langkah mundur. Bukan hanya bagi Asprov, tetapi juga Askab/Askot serta bagi ekosistem sepak bola nasional yang berharap pada stabilitas organisasi sebagai fondasi kemajuan.

Pertanyaan yang menggantung kini sederhana namun krusial: apakah penundaan ini memang untuk kebaikan tata kelola sepak bola Indonesia, atau justru sinyal bahwa proses demokratisasi internal kembali terhambat oleh kepentingan dan kebijakan yang tidak transparan.

Tags