Dugaan Penyimpangan Aset Dan Program Sapi Di Desa Padamara Disorot! Audit Total, Tegakkan Hukum!!
Desa Padamara, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga kembali menjadi sorotan publik. Setelah mencuat temuan dokumen perjanjian pemanfaatan Tanah Kas Desa (TKD) tahun 2004 antara Kepala Desa Padamara dan PT. Tetra Yasa Graha Semarang yang diduga menyimpang dari aturan, kini muncul pula dugaan penyelewengan dana program ketahanan pangan sapi bersumber dari Dana Desa (DD) tahun 2022.
Informasi yang dihimpun menyebutkan adanya dugaan kuat bahwa program ketahanan pangan sektor peternakan sapi yang bersumber dari Dana Desa tahun anggaran 2022 tidak dilaksanakan secara transparan. Warga desa hingga kini tidak mengetahui secara pasti keberadaan sapi-sapi bantuan, lokasi kandang, maupun siapa pengelolanya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Padamara yang baru 2 tahun lamanya menjadi PJ hanya memberikan jawaban singkat:
"Iyah, itu ada di daerah Mipiran, sekitar delapan ekor, kemarin pak sek sudah didatangi dari Tipikor,"
namun enggan menunjukkan lokasi secara jelas serta tidak memberikan keterangan siapa pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan sapi tersebut.

Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat. Terlebih, Tim Penyidik Tipikor dikabarkan telah turun tangan memeriksa Sekretaris Desa (Sekdes) untuk menelusuri dugaan penyimpangan dana ketahanan pangan tersebut. Pemeriksaan difokuskan untuk mengungkap apakah benar dana yang seharusnya diperuntukkan bagi penguatan ketahanan pangan desa telah disalahgunakan, bahkan berpotensi fiktif dalam pengadaan sapi.
Salah satu warga yang tidak ingin disebut namanya, mengungkapkan bahwa "kami tidak pernah mendapat keterangan secara transparan terhadap program ketahanan pangan sapi tersebut, bahkan kami tidak tau sapinya dimana, dikelolah siapa." terangnya.
Kasus lain yang ikut menyeruak adalah perjanjian lama tertanggal 28 Juli 2004, antara Kepala Desa Padamara (alm.) dan PT. Tetra Yasa Graha. Dokumen berjudul "Kesepakatan Bersama Pemanfaatan Tanah Kas Desa untuk Pembangunan Kios, Los, Mushola, dan Fasilitas Umum" tersebut mengatur pemanfaatan lahan ±2038 m² milik desa meliputi ( kios 4X3 : 34 unit, Los 2X1,5 : 72, Kamar mandi : 3 unit, Kantor dan musolah masing-masing 1 unit ) untuk dikelola dan dibangun oleh pihak swasta.

Namun, dalam praktiknya, pihak swasta diberi hak menjual kios kepada pedagang, dan bahkan dalam dokumen disebutkan Kepala Desa menjamin penerbitan Sertifikat Hak Pakai atas nama perusahaan. Langkah tersebut diduga melampaui kewenangan hukum karena Tanah Kas Desa adalah aset publik yang tidak boleh dialihkan atau disertifikatkan tanpa izin tertulis dari Bupati.
Dari hasil konfirmasi ke para pedagang, kami menghimpun informasi yang selaras bahwa dari pihak pedagang membayar sejumlah uang untuk membeli bangunan kios ditanah kas desa hingga mendapatkan sertifikat hak pakai, bahkan kios disewakan kembali oleh pemegang strifikat hak pakai.
"Kami beli bangunan ditanah kas desa seharga kurang lebih 30an juta, untuk sekarang mungkin naik harganya, setiap tahun saya tidak menyewa lahan ke kas desa, nominal segitu sudah dengan sewa selama kami disini. Kalau saya pindah yah saya jual bangunannya, atau saya sewakan," ungkap beberapa pedagang yang tidak mau disebut namanya.
Perjanjian semacam ini berpotensi melanggar Pasal 3 dan 421 KUHP, serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjerat setiap penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau desa.
Kepala Desa dan Ketua BPD yang menandatangani perjanjian tahun 2004 kini telah meninggal dunia, namun bukan berarti tanggung jawab hukum berhenti begitu saja. Berdasarkan prinsip continuity of government, pemerintahan desa sebagai institusi tetap memiliki kewajiban administratif dan hukum untuk menertibkan atau membatalkan perjanjian yang terbukti merugikan aset desa.
Dalam konteks ini, tanggung jawab pembenahan dan klarifikasi berada di tangan Kepala Desa dan BPD aktif, termasuk melakukan audit aset, pelaporan ulang ke Inspektorat, dan melibatkan pihak kejaksaan jika ditemukan unsur pelanggaran hukum.
Jika ditemukan kerugian negara atau desa, maka penegak hukum dapat menelusuri pihak-pihak yang masih hidup dan terlibat secara langsung, baik sebagai pejabat desa, perangkat, maupun pihak swasta penerima manfaat.
Dari dua kasus yang muncul baik pengelolaan Tanah Kas Desa maupun program sapi DD 2022 tampak pola serupa: minim transparansi, tidak adanya laporan pertanggungjawaban terbuka, dan indikasi kuat penyalahgunaan kewenangan.
Kasus tanah kas desa mencerminkan dugaan pengalihan aset publik kepada pihak swasta, sedangkan kasus sapi menunjukkan potensi penyelewengan dana desa dengan modus program fiktif.

Keduanya sama-sama menuntut tindakan tegas dari aparat penegak hukum, serta pengawasan berlapis dari Inspektorat, Kejaksaan Negeri Purbalingga, dan Unit Tipikor Polres Purbalingga.
Warga Desa Padamara kini menuntut langkah nyata dari pemerintah dan aparat hukum untuk:
1. Melakukan audit ulang seluruh aset Tanah Kas Desa, termasuk meninjau ulang keabsahan perjanjian dengan PT. Tetra Yasa Graha.
2. Menelusuri aliran dana dan keberadaan sapi bantuan DD 2022, serta memeriksa pihak-pihak yang mengelola atau mengambil keuntungan dari program tersebut.
3. Menindak tegas siapapun yang terbukti melakukan penyalahgunaan kewenangan, termasuk perangkat desa aktif bila terlibat dalam pembiaran atau penutupan informasi publik.
Kasus Padamara menjadi cermin lemahnya tata kelola pemerintahan desa yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik.
Jika terbukti benar, maka dua kasus ini bukan hanya merugikan keuangan desa, tetapi juga mengkhianati amanah rakyat dan mencederai kepercayaan publik terhadap program Dana Desa.
Dana Desa dan aset desa bukanlah warisan pribadi pejabat desa, melainkan amanah publik yang dijaga undang-undang dan harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.