Sejarah Dan Kisah Asal Usul Desa Mangunegara

Majapahit. Nama Majapahit ternyata tidak hanya nama sebuah kerajaan besar tapi juga sebuah dusun kecil di sekitar Desa Onje, Kabupaten Purbalingga. Hanya sebuah dusun kecil dan kini masuk wilayah Desa Karangturi, namanya Dukuh Majapahit. Dusun Majapahit bersebelahan dengan Dusun Banawati. Tempatnya persis menjelang belokan luar Sungai Klawing. Berseberangan dengan Dusun Mesir. Kalau Mesir seperti dipeluk Sungai Klawing, Dusun Majapahit di luar pelukan itu.
Seperti dusun-dusun di sekitarnya, dusun ini dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi semacam kelapa, dukuh, jengkol, sengon dan lain-lain. "Ada sawah walau sedikit tapi subur. Pengairan lancar karena ada saluran irigasi dari bendungan Kali Paku, dhawuhan Kedhung Keder di Dusun Citrakusuma. Air mengalir membelah dusun Tuanwisa, Pesawahan dan berakhir di Majapahit." Ungkap Eyang Sudir Wongsodiharjo Kesepuhan Mangunegara.
Prajurit Diponegoro tertulis dalam sejarah bahwa pada sekitar tahun 1825 – 1830 ada peristiwa perang Diponegoro. "Di Bumi Purbalingga disebut Perang Bithing. Pasukan Diponegoro melawan Pasukan Belanda yang dibantu oleh pasukan dari beberapa kadipaten sekitar Banyumas. Bahkan secara jumlah dapat dikatakan perang antara Pasukan Diponegoro melawan prajurit Purbalingga – Banyumas. Prajurit Diponegoro terdesak. Kocar-kacir dan harus menyelamatkan diri agar tidak gugur di medan perang." ungkap Kembali Eyang Sudir
Perang Bithing terjadi di sekitar Selanegara, Selakambang, dan Sinduraja namun paling ramai terjadi di sekitar Gembrungan. Di sekitar tepi Kali Lebak. Prajurit Diponegoro yang terdesak melarikan diri ke arah utara. "Pelarian prajurit Diponegoro ini terpecah menjadi dua. Pecahan pertama dipimpin oleh Ki Singanegara dan yang kedua dipimpin oleh Ki Mangundirana." ungkap Pak Miwo Spiritual Desa Mangunegara
Perjalanan terus ke utara dan menyeberangi Sungai Gintung. Rupanya perjalanan Ki Singanegara dapat ditebak oleh beberapa prajurit sandi dari Kadipaten Purbalingga, sehingga terjadi pertempuran sengit di sekitar pertemuan Sungai Kuning dengan Sungai Tambra. Prajurit Purbalingga kalah dan melarikan diri. Konon di sekitar pertemuan Sungai Kuning dan Sungai Tambra ini, dahulu sering ditemukan perlengkapan kuda dan bekas tapak-tapak kuda yang diduga bekas-bekas pertempuran para prajurit berkuda.
Ternyata prajurit Purbalingga sudah tidak ingin melanjutkan perang sehingga pasukan Ki Singanegara merasa aman. Kemenangan ini dianggap sebagai jalan untuk mendirikan sebuah negara, menguatkan niatnya membangun negara maka wilayah tersebut diberi nama Mangunarsa.
Pecahan yang kedua dipimpin oleh Ki Mangundirana, pelariannya tidak lurus ke utara namun agak ke barat, sehingga masuk ke wilayah Arenan. "Untuk menghindari bertemu dengan prajurit Purbalingga atau penduduk setempat, prajurit Diponegoro ini menyamar menjadi petani." ungkap Eyang Sudir
Dukuh berikutnya yang sempat diberi nama adalah Dukuh Bangsa. Setelah mengamati wilayah yang subur dan sesuai untuk pemukiman para prajurit dari pasukan Ki Mangundirana ini, mereka bulat-bulat berpikir untuk tidak ingin lagi kembali ke Mataram. "Mereka akan menjadi penduduk setempat. Mereka harus mencoba bergaul dengan masyarakat sekitar, membantu rakyat bertani, mendirikan rumah, dan beternak. Karena mereka sesungguhnya prajurit maka hal keterampilan dan pengetahuan mereka lebih mampu dibanding orang-orang desa yang dibantunya." Ungkap Pak Miwo Demikianlah maka para prajurit Pangeran Diponegoro, pimpinan Ki Mangundirana yang desersi ini diterima oleh masyarakat setempat.
Mereka menikah dengan wanita desa dan mendirikan perkampungan sendiri. Konon karena ada yang menemukan pohon maja yang berasa pahit di pinggir sungai. Kampungnya sengaja diberi nama Dusun Majapahit. Bagi para mantan prajurit, nama Majapahit adalah nama yang sangat dikenal. Di samping karena adanya pohon maja itu, nama Majapahit sengaja digunakan sebagai pertanda bahwa mereka bukanlah orang asli setempat. Mereka keturunan dari prajurit Mataram dan leluhur mereka adalah para prajurit dari Negeri Majapahit.
Seiring dengan waktu karena para mantan prajurit itu cenderung mencari pemukiman yang lebih ramai maka dusun Majapahit ditinggalkan dan terasing. Mereka menuju ke dusun di dekatnya yang merupakan pusat kadipaten yaitu Kadipaten Onje. Desa yang segera berkembang di sekitar dusun Mangunegara dan Citrakusuma.
Ki Mangundirana tidak lama di wilayah Majapahit. Majapahit hanya sebagai awal menyatunya mereka dengan masyarakat setempat. Ternyata Ki Mangundirana lebih nyaman bermukim di wilayah Mangunegara. "Ki Mangundirana memiliki seorang anak yaitu Ki Cakradirana. Ki Cakradirana mempunyai dua keturunan yaitu Ki Gandanegara dan Ki Gandakusuma. Ki Gandanegara bertempat tinggal di Mangunegara. Sedang Ki Gandakusuma bertempat tinggal di Citrakusuma. Anak dari Ki Gandanegara adalah Ki Bangsadipa. Ki Bangsadipa menurunkan Ki Wangsareja. Ki Wangsareja dikenal sebagai lurah Desa Mangunegara."ungkap Eyang Sudir
"Adapun Ki Gandakusuma mempunyai anak bernama Ki Wangsawijaya, Ki Wangsawijaya punya keturunan bernama Ki Arsawijaya. Ki Arsawijaya menjadi lurah Desa Citrakusuma." ungkap kembali Eyang Sudir
Ada sedikit kisah menarik yang terjadi saat Ki Gandanegara masih berjaya. Ki Gandanegara bertempat tinggal di Desa Mangunegara. Kisah pertengkaran penduduk karena berebut batang kayu Jengkol. dikenal dengan nama Tuanwisa (Tua-Wisa).
"Pada hari Senen Pahing sampai sekarang orang-orang Tuanwisa, Mangunegara, masih ada yang masih ngugemi, mematuhinya. Bersikap sangat hati-hati ketika mereka bebergian atau punya kegiatan penting di hari Senen Pahing." ungkap Pak Miwo
Desa Mangunnegara, memiliki cerita unik didalamnya berupa Mitologi. "Zaman dahulu ada larangan orang orang Dusun Mangunegara Tidak boleh menikah dengan orang orang Dusun Citrakhusuma, kalo tetap dilaksnakan akan menimbulkan petaka akan menjadi gila. masyarakat setempat percaya karena penyebab sumpah serapah di masa lalu yang di lakukan oleh Ki Gandanegara ke Ki Arsawijaya, karena kesombongan Arsawijaya yang menaiki kuda menghadap ke belakang" ujar Eyang Sudir.
Mengenai pamali bagi orang di utara sungai konon sampai sekarang masih bisa dibuktikan. Memang wajar kalau ingin maju, ingin berjaya ya keluar dusun, sekolah dan kuliah di luar kota. Kalau ingin berniaga ya harus berniaga di wilayah yang lebih luas, di luar dusun.
Lalu pamali untuk orang Tuanwisa, konon tahun-tahun dulu juga masih bisa dibuktikan dan dapat disebut contohnya. Orang yang sudah berusaha dan tampaknya akan menjadi orang sukses dan berjaya, tiba-tiba saja sakit atau terkena kendala secara mendadak. "Semoga dan sepertinya, sekarang pamali itu sudah punah dan tinggal menjadi cerita bagi anak cucu tentang kisah yang terjadi jaman kuna, kisah di jaman nenek dan kakek moyangnya. Sekarang jaman maju, jaman internet, semua orang punya hak untuk berjaya dan bisa sukses."ungkap Eyang Sudir
Desa Mangunegara memiliki sebuah tempat yang dikeramatkan, menjadi punden desa. Tempatnya di sebelah timur Dukuh Mangunegara, berbatasan dengan dukuh Mangunarga atau Pengalang-alangan. Sedikit sulit untuk mendekatinya karena letaknya di bagian bawah. Di tempat yang datar itu ada satu tempat berundak, berpagar keliling pohon puring merah, berdaun seperti bulu ayam, dengan dua pasang batu nisan, begitu damai suasana makam yang ada di sana. Karena wingitnya tempat tersebut maka jarang dilewati orang. Jalan setapakpun tidak tampak jelas berbekas. Seakan tak ada lidhigan yang terlihat menuju ke arah makam tersebut. "Kami sebagai pemerintah Desa Mangunegara berharap agar Dinas Pendidikan dan Keudayaan menjadikan makam tersebut sebagai cagar budaya, untuk mengenang jasanya di masa lalu agar masyarakat serta anak cucu mengingatnya." ungkap Pak Kades Mangunegara Juwanto.
Menurut cerita, yang dimakamkan di Punden Jambe Ndalem adalah Ki Gandanegara dan istrinya Nyi Sekar Melati. Ki Gandanegara dikenal mempunyai kesaktian berlebih. Apa yang dikatakan segera menjadi kenyataan. Beruntung Ki Gandanegara termasuk tokoh yang arif bijaksana, sehingga tidak mau menggunakan kesaktiannya untuk hal-hal yang merugikan pengikutnya. "Salah satu wujud kesaktiannya adalah mampu mengambil air dengan keranjang pengangkut rumput. Padahal keranjang rumput itu dibuat dari bambu dan memiliki lubang anyaman yang lebar-lebar tapi air yang diangkutnya tidak setetespun jatuh ke tanah. Konon juga mampu memisahkan raganya menjadi tiga bagian." ungkap Pak Miwo.
Maka ada yang sempat bercerita bahwa di wilayah Mangunegara ada tiga makam yang bertebaran namun sesungguhnya itu adalah makam dari satu tokoh yang sama. Itulah Ki Gandanegara. Kenapa harus dipisahkan? Ki Gandanegara ingin melindungi wilayah Mangunegara dari alam gaib, syaratnya adalah tubuhnya harus dipisahkan. Jika tidak dipisahkan beliau tidak akan meninggal, akan tetap hidup, mungkin beliau punya ajian Aji Pancasona. Konon pemilik Aji Pancasona (panca = lima, sona = anjing) bisa mati jika raganya dipotong-potong dan di kubur, kuburnya harus terpisah oleh sungai.
Ketiga makam tersebut adalah, satu, di tengah sawah Dusun Pengalang-alangan, yang kedua di Makam Punden Jambe Ndalem dan yang ke tiga di Dukuh Jambangan. Konon yang di tengah sawah Pengalang-alangan hanya sekitar dua ratus meter dari Makam Punden Jambe Ndalem adalah tempat kubur atau makam mustaka (mustaka = kepala, sirah) Ki Gandanegara. Lalu badannya atau gembungnya dikubur di makam Jambe Ndalem, sedang bagian samparan (kaki) dikubur di candi Dukuh Jambangan.
Dukuh Jambangan dengan Dusun Pengalang-alangan jaraknya sekitar satu setengah kilo meter. Candi atau makam di Dusun Jambangan ini letaknya dekat sebuah sungai. Sungai yang dekat dengan makam samparan Ki Gandanegara itu, diberi nama Kali Ganda. Secara geografis letak Candi Jambangan dengan Makam Jambe Ndalem memang di samping dipisah jarak yang jauh, juga dipisahkan oleh sungai Ganda dan Sungai Paku. Tapi antara Jambe Ndalem dengan candi di tengah sawah Pengalang-alangan tidak dipisah oleh sungai hanya letaknya yang berbeda, satu di lembah bawah dan yang satu di bagian dataran atas.
Pengasuh Ki Gandanegara bernama Embah Gople. Mbah Gople bertugas melayani seluruh kebutuhan Ki Gandanegara dan Nyi Sekar Melati. Ada dua hewan gaib yang selalu muncul di sekitar Punden Jambe Ndalem yaitu serombongan semut dan sekelompok anjing. "Dulu setiap kali, menjelang magrib, rombongan anjing Ki Gandanegara ini sering muncul beriringan di pematang sawah." Ungkap pak Miwo. Hal semut selalu muncul merambati para peziarah atau pemohon tuah di makam Ki Gandanegara ini. Semut-semut itu terasa merambati tubuh tapi kalau dilihat tidak tampak wujudnya. Anjing tidak mengganggu namun jika diperhatikan lama kelamaan akan menghilang secara gaib.
"Jangan coba-coba membunuh hewan apapun di sekitar Punden Jambe Ndalem, walau itu berbentuk semut apalagi ular. Begitu pamali yang beredar di Punden Jambe Ndalem. Konon sering kejadian seseorang yang dengan sengaja membunuh hewan di sekitar punden dan kemudian tiba-tiba meninggal dunia," Ungkap Bapak Miwo maka sangat dipercaya pembunuhan hewan itulah yang menjadi penyebab meninggalnya orang tersebut, kuwalat. Wingitnya Jambe Ndalem dibuktikan oleh seorang bladong, penebang pohon.
"Pernah menebang pohon laban di sekitar makam. Pohon tidak juga roboh walaupun sudah terpotong penuh, sudah tugel-gel," ujar Pak Heri Kaur Kesra, padahal bagian atas pohon yang tingginya sekitar lima belas meter itu tidak ada yang dapat dianggap menghambat robohnya pohon. Gaib! Blandong harus membuat upacara khusus dengan doa khusus, sekitar lima belas menit baru kemudian pohon tersebut berkenan roboh. Wingit!
Namun demikian ada yang berpendapat bahwa ketiga makam itu adalah makam tiga peraga yang berbeda. Yang ada di makam Jambe Ndalem adalah utuh tempat Ki Gandanegara dan istrinya Nyi Sekar Melati dimakamkan. Siapa bisa jawab? Menjadi catatan bahwa Ki Gandanegara sering pula disebut sebagai Ki Mangunjaya. Sedang saudaranya Ki Gandakusuma sering disebut sebagai Ki Mangunkusuma.
Jadi di desa itu ada kegiatan wanita membuat kain batik tulis. Ada pula budaya ngantih, membuat benang dari kapuk randu, lalu membuat kain tenun kasar, minimal membuat lancing. Dan dulu umumnya para penderes dan petani, tidak menggunakan celana pendek, tapi cukup hanya lancingan. Sebuah kain tenun kasar bikinan desa seperti ciutan, diubat-ubet sedemian rupa menjadi penutup aurat laki-laki.
"Konon desa Citrakusuma dulu setiap kali juga dipasang sendaren dan kitiran, sehingga suasana desa begitu meriah, terdengar bunyi musik alami." Heri Kaur Kesra. Sendaren adalah peluit bambu, atau sawangan yang dibuat dari selonjor bambu. Tiap ruas bambu dibuat lubang sedemikian rupa sehingga jika terkena hembusan angin menimbulkan bunyi sebuah nada.
Ruas yang satu dengan ruas yang lain berbeda nada. Letak lubang tiap ruas berbeda-beda, ada yang menghadap ke barat, timur, utara dan selatan. Minimal ada lima nada. Maka dari manapun arah angin bertiup sendaren pasti akan berbunyi siang malam. Sendaren dipasang tegak lurus di sebuah pohon yang tinggi, agar mendapat tiupan angin yang kuat dan yang mampu menggetarkan udara di bibir lubang bambu.
Hal kitiran atau baling-baling dibuat sedemikian rupa sehingga selalu menghadap ke arah angin datang. Ketika baling-baling berputar akan mengeluarkan bunyi yang juga tiada henti seiring bertiupnya angin.
Baling-baling dipasang di luar desa, di sawah. Di samping sebagai musik alam juga dimanfaatkan untuk menakut-nakuti burung pemakan padi.
Bunyi-bunyian berikutnya adalah di tengah sawah, memanfaatkan air crowokan di salah satu pematang. Sebatang bambu yang panjangnya sekitar 40 cm dengan satu ruas ditengahnya. Dibawah ruas ditusukkan as dari bambu juga. Dipasang sedemikian rupa di bawah crowokan sehingga jika bambu bagian atas sudah penuh air, bambu njengit ke depan, air tumpah dan bagian belakang bambu melesat turun menghantam batu sehingga bunyi cethak-cethok sepanjang hari. Bunyi ini juga digunakan untuk mengusir hewan pemakan padi muda. Itulah tinggalan budaya dari Kyai Langes yang sempat turun ke anak-cucunya.
Di awali dari Perang Bithing dan pelarian para prajurit Diponegoro, lalu dari para prajurit ini akhirnya beranak cucu di sekitaran Dusun Majapahit. Satu di antara warengnya, atau turunan ke lima, ada yang bernama Ki Arsawijaya.
Dengan urutan nama yang terceritakan adalah Ki Mangundirana, Cakradirana, Kyai Langes, Ki Wangsawijaya, dan keturunan ke limanya adalah Ki Arsawijaya dan menjadi lurah di Desa Citrakusuma.
Jika dilihat dari garis laki-laki maka Ki Arsawijaya bukanlah keturunan Adipati Onje. Tapi dari keturunan prajurit Diponegoro, prajurit Mataram, Ki Mangundirana.
Ki Arsawijaya menjadi lurah di Citrakusuma hanya satu periode karena Desa Citrakusuma harus bergabung dengan Desa Mangunegara (lihat cerita Mangunegara, Citrakusuma, Banawati). Eyang Arsawijaya sempat memperluas surau untuk menjadi masjid yang luas. Adapun pendapa kelurahan Citrakusuma ada di selatan surau. Pendapa menhadap ke utara.
Jaman Eyang Arsawijaya di desa Citrakusuma mulai ada makanan semacam tempe, gethuk, jongkong, bungkil, mendoan, inthil, ondhol dan makanan model desa yang lain. Ayam goreng masih setahun sekali. Telur ceplok adalah makanan mewah. Roti adalah makanan asing. “Roti itu makanannya Ratu Wilhelmina, ratu Negeri Belanda!” kata Eyang Putri Wiryodiharjo pakai Bahasa Banyumasan.
Ki Wangsawijaya, ayahnya Ki Arsawijaya, berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Arab dan wafat di tanah suci, dimakamkan di sana. Lalu saat Ki Arsawijaya berangkat naik haji ke Mekah, juga dipanggil Allah SWT di tanah suci, juga dimakamkan di Tanah Arab. "Oleh karena itu Makam Desa Citrakusuma hanya ada satu punden yaitu Makam Kyai Langes atau Ki Gandakusuma." ujar pak kades Juwanto.
Menyimak berpulangnya para haji jaman dulu-dulu. Barangkali inilah awalnya mengapa orang yang berangkat haji harus dikunjungi, bersalaman, berpamitan, minta maaf, minta didoakan, dan lain-lain, lalu diantarkan beramai-ramai, karena bisa jadi saat mengantar, itulah pertemuan antar mereka yang terakhir.
Menunaikan ibadah haji jaman dulu butuh waktu lama, sulit transportasi, sulit komunikasi, sulit pula akomodasi sehingga bisa terlunta-lunta bahkan sangat mungkin meninggal di Tanah Arab. “Buyut Arsawijaya munggah kaji, payuneng kana. Seda neng Mekah!” kata Eyang Putri Wiryodiharjo. Istilah payudigunakan untuk pengganti kata ‘dipanggil Yang Maha Kuasa saat menunaikan ibadah haji’. Kini, mengantar calon haji beramai-ramai telah menjadi budaya di tanah air.
Dari Lurah terakhir di Desa Citrakusuma ini, Ki Arsawijaya memiliki keturunan 9 orang, beserta para cucunya; yakni:
1. Eyang Kakung Martawireja – Karangmangu: Kusmini
2. Eyang Putri Kaji Tohir – Citrakusuma. –
3. Eyang Putri Tadiwirya – Citrakusuma; Mulyadiwirya, Robingah, Ngapiyah
4. Eyang Putri Dasiyem Wiryodihardjo – Citrakusuma; Sungimah, Suma, Suwandi, Suratmi, Suwarni, Suwondo, Sugito, Harsono, Suharti, Hartono.
5. Eyang Putri Sardiyem Sanreja – Ngebak; Ratmini, Kasan Muhadi, Muheni, H. Sadali, Moch. Kalyubi, Surtinah, Tolingah, Barudji
6. Eyang Kakung Purwosarjono – Mangunegara; Murniati, Susanto Ngudiardjo, Mustirah, Budiono, Sudiono, Purnomo, Lili Purwanti, Sukrisno, Slamet Riyadi.
7. Eyang Kakung Adiatmojo – Citrakusuma; Nitiadi, Adiati Retnaningsih, Adiyanto, Wahyuni, Hastuti, Bambang Waluyono, Edi Suripto, Widodo Sulistiyono, Heri Budi S, Titie Haryati.
8. Eyang Putri Yasadiwirya – Ngebak; Mujawad, Sechani, Marliah, Musniah, Matruni, Sumaryo.
9. Eyang Putri Raminah Makmur – Citrakusuma; Mutmainah, Subadyo, Sutarmi, Muthohar.