Kisah Kiageng Gumelem Girilangen Kelampok Banjarnegara
Kisah kelapa kendit melatar belakangi berdirinya Kerajaan Mataram, barang siapa yang bisa menemukan kelapa kendit dan meminum habis airnya, dialah orang yang nantinya akan menurunkan raja- raja di tanah Jawa. Diceritakan Ki Ageng Giring berhasil mendapatkan kelapa kendit (simbol wahyu kedaton). Namun, keberuntungan jatuh pada adiknya yang bernama Ki Ageng Pamanahan karena dialah yang meminum air kelapa tersebut. Meskipun kecewa tapi akhirnya Ki Ageng Giring menyadari semua atas kehendak Yang Maha Kuasa. Sejak kejadian itulah dimulainya perjalanan Ki Ageng Giring untuk siar Islam di tanah Jawa.
Konon perjalanan Ki Ageng Giring dalam siar Islam berakhir disekitar wilayah Gumelem. Diceritakan saat rombongan para santri yang menghantarkan jenasah Ki Ageng Giring menuju Dukuh Giring, Gunung Kidul tiba di kaki Gunung Wuluh. Karena kelelahan rombongan pun bermaksud untuk istirahat di lereng Gunung Wuluh, keranda jenasah Ki Ageng Giring oleh para santri diletakkan di atas tanah. Entah sebab apa, tanah yang ditempati keranda semakin amblas. Karena khawatir tanahnya longsor, segera para santri mengangkat keranda jenasah Ki Ageng Giring tapi keranda tidak mampu diangkat. Dengan maksud ingin menyelamatkan jenasah Ki Ageng, dibukalah keranda tersebut dan para santri pun terkejut karena keranda itu ternyata sudah kosong. Karena kebingungan atas hilangnya jenasah Ki Ageng Giring, para santri bersepakat untuk mengubur keranda itu di puncak Gunung Wuluh dan lalu meneruskan perjalanannya kembali. Atas kejadian tersebut, Gunung Wuluh kemudian diganti namanya menjadi Gunung Ilangan (Giri Ilangan). Demikian dikisahkan oleh Achmad Sujeri Juru Kunci Giri Ilangan.
Legenda Giri Ilangan sangat melekat dikalangan masyarakat Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Berada di puncak gunung, makam Ki Ageng Giring terdiri dari lima teras berundak yang diyakini sebagai lambang dari rukun Islam, seperti yang diceritakan Achmad Sujeri yang akrab disapa Jeri juru kunci makam. Menurutnya, meskipun hanya keranda dan pakaiannya saja yang dimakamkan, tapi keyakinan bahwa Giri Ilangan sebagai tempat moksa Ki Ageng Giring sudah sangat melekat, maka tidak mengherankan kalau Giri Ilangan selalu ramai dikunjungi peziarah dari dalam dan luar kota.
Untuk memasuki area makam terlebih dahulu melewati jalan berbatu dan menanjak. Tepat dipinggir sebelah kiri jalan terdapat sebuah lempeng batu yang dikenal sebagai batu sajadah, batu yang kerap digunakan untuk menjalankan ibadah shalat oleh para peziarah. Memasuki teras kedua yang ada hanya dataran pendek dengan beberapa tanaman kembang kamboja ditiap sisinya, begitu juga pada teras ke tiga. Pada teras ke empat terdapat sebuah bangunan pendopo yang biasanya dipergunakan sebagai tempat upacara adat para peziarah seperti selamatan dan sebagainya. Pada teras ke lima terdapat sebuah bangunan berbentuk gapura dari susunan batu bata yang dibentuk menyerupai bentuk ornamen candi dengan pintu kayu jati berukir yang sudah berumur ratusan tahun.
Pintu inilah satu-satunya jalan masuk menuju makam. Seperti pada makam-makam kuno lainnya, bentuk bangunan makam Ki Ageng Giring berupa sebuah cungkub beratap. Menurut juru kunci, kisah perjalanan Ki Ageng Giring juga sangat kental hubungannya dengan nama Desa Gumelem, yaitu dari kisah perjalanannya menuju Desa Giring Kabupaten Gunung Kidul. Saat rombongan sedang menyeberang hampir saja hanyut terbawa arus sungai yang deras, karena kejadian itulah desa yang dulunya bernama Desa Karang Tiris diganti menjadi Desa Gumelem dari kata kelelem atau tenggelam.
Setelah Ki Ageng Giring pergi untuk selamanya, Panembahan Senopati mengutus panglima perangnya yang bernama Wanakusuma alias Udakusuma alias Hasan Besari alias Ki Ageng Gumelem untuk menjaga makom Ki Ageng Giring sekaligus menjadi Demang disana. Diberinya tanah oleh Raden Sutawijaya dan Ki Ageng Gumelem menjadi Demang pertama di Desa Gumelem. Pada saat Ki Ageng Gumelem berangkat ke Desa seluas 972.802 hektar itu, Ki Ageng Gumelem membawa serta pengawal dan para abdi. Diantara abdi sastra, budayawan, seniman dan lain sebagainya. Maka dari itu sampai sekarang banyak kebudayaan Gumelem yang erat kaitannya dengan Mataram, salah satunya Batik dan Empu pandai besi.
Setelah Ki Ageng Gumelem, Kademangan diteruskan turun temurun yaitu kepada Demang Wiraredja, Cipta Suta I, Cipta Suta II, Mbah Sokaraja, Mbah Beji dan Nurdaiman I. Pada jaman Nurdaiman I, yang merupakan arsitek Mesjid Agung Nursulaiman di Banyumas. Gumelem pecah menjadi 2 bagian, yaitu Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Gumelem Wetan diwariskan kepada Nurdaiman II, Gumelem Kulon diwariskan kepada Demang Nurasma. Selanjutnya setelah masa pemerintahan Demang II, ada Demang Mertadipa, Dipadipura, Krama Diwirya, Iman Wiredja, Iman Subandi dan yang menjadi Demang terakhir adalah Iman Wasisto pada kisaran tahun 1953. Krama Diwirya sebenarnya bukan Demang, karena Demang Iman Wiredja masih terlalu kecil dan belum mampu memimpin. Maka digantikan Krama Diwirya selama 25 tahun. Menurut keterangan kepala Desa Gumelem Wetan, Budi Sulistyo, Demang terakhir ” Iman Subandi ” memiliki nasib paling hina ( miskin ). Karena ada undang-undang pengalihan lahan dan pemerintahan. Dia mendaftar menjadi kepala desa, namun tidak dipilih oleh warganya. Maka beliau menjual harta bendanya termasuk rumahnya. Itulah sebabnya, bangunan pendopo maupun rumah demangnya sudah hilang dan berganti menjadi bangunan rumah pribadi yang cukup modern. Yang masih tersisa dan menjadi saksi adalah sebuah gerbang dan talud jalan menuju rumah Demang.
Sampai sekarang setiap hari Senin dan Kamis banyak orang yang berziarah ke Makam Ki Ageng Giring ataupun Ki Ageng Gumelem. Setiap malam Kamis Wage, sekitar 200 orang mengadakan Mujjahadah atau Doa bersama. Ketika akhir bulan Sadran, bisa berlipa-lipat para penzirah ke Girilangan.
Berikut dibawah ini adalah kisah cerita dari versi dari salah satu blog di internet tentang Ki Ageng Gumelem berdasarkan kisah dari kakeknya.
Jaman dahulu kala, di kerajaan Surakarta (Solo) kedatangan pasukan berandal atau penjahat yang kejam,bengis,tidak mengenal perikemanusiaan. Pasukan berandal ini merampok,merusak dan menyakiti rakyat di kerajaaan Surakarta. Namun pihak kerajaan tidak mampu menumpas para penjahat ini. Hingga suatu hari Raja mendengar ada seorang tokoh sesepuh sakti di wilayah bagian Barat, yang bernama Ki Hasan Besari. Raja mengirim seorang utusan untuk memanggil Ki Hasan Besari. Setelah Ki Hasan Besari menghadap, Raja berkata ” Ki Hasan Besari, untuk keamanan negeri ini, carilah pusaka untuk menumpas para penjahat yang datang menyerang kerajaan ini ”. Ki Hasan Besari menyanggupinya.
Dia segera pergi bertapa, dan akhirnya dia mendapatkan 2 pusaka yang disebut Ganjur dan Sodor , yang berwujud seperti bendera dan sebuah tombak. Ki Hasan Besari menyerahkan kedua pusaka itu. Kemudian Raja berkata ” Kau telah mendapatkan pusaka ini, sekarang apakah kau memiliki anak laki-laki untuk menumpas para penjahat?”. Ki Hasan Basari menjawab ” Baiklah paduka Raja, seorang putra hamba akan segera berangkat untuk melawan gerombolan penjahat itu ”. Ki Hasan Besari segera memerintahkan putranya yang bernama Wirakusuma untuk pergi menumpas para berandal. Wirakusuma yang sakti akhirnya berhasil mengalahkan para berandal. Akan tetapi, pimpinan berandal yang licik itu mencoba mempengaruhi Wirakusuma. “ Hai Wirakusuma, kau benar-benar hebat dapat mengalahkanku dan pasukanku. Padahal Raja saja tidak mampu melawan kami. Berarti kau adalah orang sakti mandra guna, kau pantas menjadi Raja disini ”. Ternyata Wirakusuma terpengaruh bujukan berandal itu.
Dia berbalik, mengikuti penjahat-penjahat itu melawan kerajaan. Melihat bahwa para berandal semakin merajalela, Raja kembali memanggil Ki Hasan Besari, dan berkata ” Panggilah putramu yang lain untuk membela kerajaan ini, menumpas penjahat “. Ki Hasan Besari juga menyanggupi dan segera memerintahkan putranya yang lain yaitu Raden Jono. Raden Jono dengan gagah berani melawan berandal-berandal itu, dan berhasil menumpasnya. Raden Jono juga berhasil menangkap Wirakusuma dan membawanya ke hadapan Raja untuk mendapat hukuman. Raja kembali memanggil Ki Hasan Besari, dan berkata ” Ki Hasan Besari, atas jasamu membantuku menumpas penjahat-penjahat itu, maka ku berikan hadiah padamu. Tanah perdikan gumelem menjadi milikmu, kujadikan kau sebagai Demang Gumelem dengan julukan Ki Ageng Gumelem “.
Kerjasama Trens TV dengan Sorot Nuswantoro