Kadus, Kaur Dan Kades Desa Darma Diduga Langgar Hukum: Dugaan Kuat Pungli Pemutakhiran Tanah Disorot

Kadus, Kaur Dan Kades Desa Darma Diduga Langgar Hukum: Dugaan Kuat Pun
10-Nov-2025 | sorotnuswantoro Purbalingga

Aroma tidak sedap praktik pungutan liar (pungli) kembali menyeruak di tingkat pemerintahan desa. Kali ini, dugaan pungli mencuat dari kegiatan pemutakhiran data pertanahan di Desa Darma, Kecamatan Kertanegara, Kabupaten Purbalingga, program yang sejatinya merupakan bagian dari kebijakan pemerintah pusat, namun diduga disalahgunakan oleh oknum Kepala Dusun (Kadus) dan Kaur Pemerintahan Desa untuk meraup keuntungan pribadi dari warga.

Berdasarkan penelusuran dan keterangan sejumlah warga, masyarakat diminta membayar sejumlah uang dengan besaran bervariasi, mulai dari Rp100 ribu hingga Rp1 juta per bidang tanah. Ironisnya, pungutan itu dilakukan tanpa dasar hukum, tanpa kwitansi, dan tanpa laporan resmi ke pemerintah desa.

"Katanya buat operasional. Ada yang bayar Rp100 ribu, Rp250 ribu, Rp400 ribu, bahkan ada yang sampai Rp1 juta. Tapi tidak ada kwitansi atau catatan apa pun," ungkap salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Warga lain mengaku terpaksa membayar karena takut tak bisa ikut program pemerintah jika menolak.

"Yang tidak punya uang jadi takut ikut. Padahal katanya ini program pemerintah," ujarnya.

Saat dikonfirmasi, oknum Kadus yang bersangkutan tidak menampik adanya pungutan. Ia bahkan mengakui menetapkan pungutan tersebut atas inisiatif pribadi tanpa sepengetahuan Kepala Desa.

"Iya, itu buat rokok dan operasional kami. Tidak ada keputusan atau surat perintah, Pak Kades juga tidak tahu," ujarnya santai.

Namun, pengakuan Kadus bahwa uang itu dikelola pribadi dan tidak dimasukkan dalam kas desa, memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan jabatan dan pelanggaran terhadap tata kelola keuangan desa.

Keterangan Kaur Pemerintahan desa justru menambah kuat dugaan tersebut. Ia mengetahui adanya penerimaan sejumlah uang dari warga.

"Saya dapat dua orang kasih seratus ribuan. Memang benar, ada beberapa warga yang kasih lebih, bahkan sampai Rp1 juta satu orang," ujarnya.

Pengakuan ini menjadi bukti bahwa praktik pungutan liar ini tidak hanya dilakukan oleh satu oknum, melainkan ada pembiaran dan lemahnya kontrol internal di tubuh pemerintahan desa.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Desa Darma mengaku tidak mengetahui adanya pungutan tersebut. Ia menegaskan bahwa pemutakhiran tanah memang program pemerintah pusat, namun tidak pernah ada surat tugas atau instruksi resmi dari desa untuk memungut biaya dari warga.

"Saya tidak pernah memerintahkan Kadus untuk memungut biaya apa pun. Kalau benar ada, nanti akan kami sikapi dan tindaklanjuti," ujarnya.

Namun, ketidaktahuan bukan alasan pembenar dalam hukum pemerintahan. Kepala Desa memiliki tanggung jawab penuh atas seluruh tindakan aparat di bawahnya. Tidak adanya musyawarah, surat tugas, dan pengawasan menjadi bentuk kelalaian jabatan (maladministrasi) yang dapat berimplikasi hukum.

Berdasarkan kajian hukum, praktik pungli ini berpotensi melanggar beberapa peraturan perundangan, di antaranya:

1. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, Pasal 12 huruf e: penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberikan sesuatu dapat dipidana 4–20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.

2. Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, seluruh penerimaan dan pengeluaran wajib tercatat dalam APBDes. Pungutan di luar itu tidak sah dan melanggar hukum.

3. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang Pemberantasan Pungutan Liar, menegaskan bahwa setiap pungutan tanpa dasar hukum resmi adalah pungli.

4. Pasal 368 & 372 KUHP, terkait pemerasan dan penggelapan, dengan ancaman pidana hingga 9 tahun penjara.

5. PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, Pasal 4 huruf f melarang penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Jika terbukti ada pembiaran, Kepala Desa dapat dijerat Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan dan Pasal 52 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahkan Pasal 3 UU Tipikor jika kerugian masyarakat atau negara dapat dibuktikan.

Masyarakat kini mendesak Inspektorat Kabupaten Purbalingga dan Tim Saber Pungli segera turun melakukan audit dan penindakan.

"Kalau dibiarkan, nanti setiap program pemerintah bisa dikomersilkan. Ini harus disetop," tegas salah satu tokoh masyarakat setempat.

Publik menilai, kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan indikasi kuat tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Lemahnya pengawasan pemerintah desa membuka ruang bagi praktik kotor seperti ini terus berulang.

Masyarakat menanti: apakah aparat berani menindak tegas pelaku dan pihak yang membiarkan, atau kembali membiarkan dalih "uang rokok" menutupi bau busuk korupsi di akar pemerintahan desa?

Tags