The Legend Of Kejobong Purbalingga

Purbalingga SN - Kira-kira pada pertengahan abad ke-19 berdiri sebuah perguruan/ padepokan “Kalimeong” yang sangat terkenal. Padepokan ini dipimpin oleh mahaguru yang bernama Bangsa Tirta. Dia terkenal seorang yang sangat sakti dan mempunyai keahlian lain dalam bidang pengobatan. Karena kehebatannya, maka banyak orang yang datang berguru kepadanya.
Pada suatu hari ada yang datang dari Jawa Barat untuk minta obat sebab tetangganya sakit parah. Setelah menyampaikan maksudnya, dia diberi obat berupa air yang sudah diberi mantra-mantra dan dimasukan ke dalam bumbung (tabung dari bambu).
Bangsa Tirta berkata, “Kamu harus cepat-cepat pulang dan tidak boleh beristirahat di perjalanan. Kalau nanti kamu melanggar perintahku ini, saya tidak bertanggung jawab”
Hal ini sudah biasa dilakukan kepada orang-orang yang minta obat.
Dengan langkah ragu utusan dari Jawa Barat itu pergi meninggalkan Kalimeong. Dalam perjalanannya yang cukup jauh dia merasa lelah, haus dan dahaga. Terpaksa dia beristirahat untuk melepas lelah. Dia duduk di bawah Pohon Pulai. Lama kelamaan dia tertidur pulas tanpa alas tidur. Betapa terkejutnya ketika ia bangun. Bambu yang berisi air tidak ada dan yang ada sekarang serumpun bambu yang lebat. Dia termenung dan merasa takut kalau-kalau nanti setelah sampai di Jawa Barat dimarahi. Selain itu ia menyesali perbuatannya karena bersalah telah melanggar pesan dari sang guru Bangsa Tirta.
Bangsa Tirta memiliki banyak siswa di padepokan Kalimeong, ratusan jumlahnya, namun ada empat orang siswa yang sangat menonjol. Mereka adalah Suro Gendheng, Suro Begong, Suro Merta, dan Suryo Lelono.
Suro Gendheng merupakan siswa yang tertua. Dia berbadan tinggi besar, berwajah seram/angker, wataknya keras dan kejam. Dia telah mempunyai aji Jebug Keli artinya dia tidak bisa tenggelam walaupun dimasukkan ke dalam sungai yang dalam sekalipun. Dia tahan/kebal terhadap tusukan benda tajam.
Suro Begog mempunyai aji Gajah Wulung artinya dia bertenaga kuat sekali (seperti gajah). Selain itu dia kebal terhadap tusukan benda tajam.
Suro Merto mempunyai aji Kenteng Waja artinya dia kebal terhadap tusukan benda tajam, karena badannya yang keras sekali seperti baja.
Ketiga siswa ini memang pandai sekali merayu sang Guru agar memberikan ilmu-ilmu kekebalan tubuh. Tetapi ilmu-ilmu itu disalah gunakan.
Siswa yang keempat adalah Suryo Lelono, dia berasal dari Surakarta. Orangnya tinggi besar berwatak sabar dan suka mengalah. Tetapi dia sangat cakap dalam menerima ilmu-ilmu yang diberikan Guru. Selain itu dia cerdas dan sopan, sifatnya lemah lembut dan periang. Berbagai ilmu telah dikuasainya. Apa yang diajarkan guru cepat dikuasai. Maka dari itu guru memberi hadiah sebuah cincin (batu akik) yang berguna untuk memikat wanita. Namun ia tak ingin menggunakannya.
Pada suatu hari diadakan pertemuan untuk membahas kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Maka keempat siswa itu supaya berkumpul dan akan diberi pengarahan oleh guru.
“Mengingat guru sudah tua maka kalian saya harap bisa meneruskan padepokan ini. Karena Suryo Lelono merupakan siswa yang paling cakap, maka saya beri tugas untuk mengambil Guci Emas di bukit Lemah Bentar. Guci tersebut saya simpan di bawah pohon Kemuning. Mengingat bukit tersebut sangat angker, maka kalian bertiga mendampingi Suryo Lelono. Kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” Wejangan Bangsa Tirta.
Sesampai di Lemah Bentar tidak mendapat kesulitan, karena Suryo Lelono dapat mengatasinya. Akhirnya guci itu bisa dibawa pulang.
Di tengah perjalanan, ketiga bersaudara itu iri melihat keberhasilan Suryo Lelono. Ketiga orang itu mempunyai niat jahat, kemudian meminta dengan paksa guci yang sedang dibawa Suryo Lelono. Suryo Lelono bersikeras mempertahankan guci tersebut. Maka terjadilah perkelaian antara Suryo Lelono dengan ketiga bersaudara. Namun mengingat perkelaian yang tidak seimbang, maka betapa pun Suryo Lelono banyak menguasai ilmu bela diri untuk melawan tiga orang dia kewalahan. Akhirnya Suryo Lelono kalah di keroyok tiga bersaudara. Setelah ketiga orang itu melihat Suryo Lelono tak sadarkan diri/pingsan, guci tersebut diambilnya dan mereka terus kabur meninggalkan padepokan.
Ketika Suryo Lelono siuman, datanglah Nyi Sendekala (kakak seperguruan Bangsa Tirta) untuk menolongnya. Suryo Lelono menceritakan dari awal hingga akhir kejadian yang baru dialami. Kemudian Nyi Sendekala merasa kasihan melihat Suryo Lelono lemah lunglai. Setelah tenaganya agak pulih, Suryo Lelono diantar pulang ke padepokan Kalimeong.
Bangsa Tirta merasa terkejut melihat Suryo Lelono berjalan dengan lemah lunglai dan tidak bersama ketiga saudara seperguruan. Tetapi dia diantar oleh Nyi Sendekala. Setelah istirahat, dia menceritakan kejadian yang baru dialami dari awal sampai pulang ke padepokan ini. Bangsa Tirta setelah tahu kejadian yang menimpa Suryo Lelono hatinya marah dan mengumpat perbuatan Suro Begog dan kawan-kawan.
Tidak lama kemudian terdengar berita bahwa Suro Gendeng dikeroyok orang di Banjarnegara, karena mencuri sapi. Kakinya diikat dan dibebani batu kemudian diceburkan ke sungai Brangsong. Tetapi berkat ilmu Jebug Keli dia bisa lolos dari maut dan dia bisa mendarat lagi langsung mencari tempat yang aman. Suro Begog juga di keroyok oleh masyarakat karena tertangkap basah sedang mencuri kerbau. Dia babak belur dan dimasukan ke kamar tertutup di rumah Demang di Rembang. Tetapi malamnya bisa keluar sebab mempunyai aji Gajah Wulung, kemudian melarikan diri. Suro Merto tertangkap di pesisir laut selatan. Dia dihajar penduduk karena mencuri ikan dan udang di tambak, kemudian tambaknya pun dirusak. Dia di hukum dan dimasukan kedalam penjara, namun di penjara dapat menjebol tembok dan akhirnya dia melarikan diri.
Mendengar berita-berita itu, Bangsa Tirta merasa sedih dan prihatin atas kelakuan para siswanya yang mementingkan diri sendiri. Ilmu-ilmu yang seharusnya untuk kekebalan dan menjaga diri dari bahaya ternyata disalah gunakan. Kemudian Bangsa Tirta bersemedi dengan menggunakan aji Kalamudeng. Dengan tujuan para siswanya yang telah tersesat dan melanggar ilmu-ilmu untuk kepentingan pribadi agar bisa pulang ke padepokan kembali.
Ajian ini memang sangat ampuh terbukti satu persatu siswanya yang telah meninggalkan padepokan dapat pulang semua. Ketiga siswanya datang bersujud menghadap guru sambil menundukkan kepala. Mereka merasa malu akan perbuatan yang telah dilakukan. Bangsa Tirta dengan nada wibawa berkata, “Dengarkan baik-baik, ilmu-ilmu yang telah kuberikan kepada kalian dan aji-aji yang ada pada kalian terpaksa saya cabut kembali, karena kalian telah membuat onar dan nama perguruan ini menjadi jelek. Selain itu kalian telah mengeroyok teman seperguruan. Untuk itu kalian harus pergi dari sin! Itulah hadiah kalian.”
Ketiga orang itu tubuhnya gemetar, bagai disambar petir, tubuhnya menggigil, dan merasa malu seta menyesali akan perbuatannya itu. Mereka jatuh tak sadarkan diri, tubuhnya lemah lunglai, dan mukanya pucat sekali.
Kemudian Bangsa Tirta dengan nada keras berkata lagi, ”Kalian tidak akan memperoleh kehidupan yang layak, kecuali jadi Wong (wong artinya orang yang berkelakuan baik). Maka mulai hari ini Kalimeong saya ganti dengan nama Kejobong.
“Jadi nama Kejobong itu berasal dari kata Kejaba dan Wong. Kejaba dalam bahasa Indonesia berarti kecuali, wong artinya orang yang baik.”