Tragedi Adipati Wirasaba

Tragedi Adipati Wirasaba
12-Sep-2019 | sorotnuswantoro indonesia

Cinta memang salah satu sumber kebahagiaaan, namun tak jarang menjadi pemantik malapetaka. Tragedi yang diakibatkan dari kisah cinta Putri Adipati Wirasaba ini bisa menjadi kaca benggala bagi kita, sebuah cinta yang menjadi bencana.

Alkisah, dua anak manusia yang masih belum mengerti apa itu cinta dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Adalah Rara Sukartiyah, putri Adipati Wargautama orang nomor satu di Kadipaten Wirasaba dijodohkan dengan Bagus Sukra, anak Ki Gede Banyureka, Demang Toyareka. Sebab masih ABG, Rara dan Bagus masih tinggal dengan orang tua masing-masing.

Saat sudah cukup umur, mereka kemudian dipersatukan. Namun, apa mau dikata, rumah tangga kedua pasangan belia itu tiada kecocokan. Adagium ‘witing tresno jalaran soko kulino’ tak berlaku bagi mereka, sudah dikulino-kulinokan tetap saja tak tumbuh tresno. Mereka bertolak belakang. Rara rupanya masih terlalu hijau untuk menyadari apa itu cinta, sementara Bagus jatuh dalam kubangan cinta.

Sebab tak cinta, Rara tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia malah meminta untuk diceraikan. Bagus pun kemudian terpaksa memenuhi keinginan istrinya dan pulang ke rumah orang tuanya di Toyareka. Perkawinan mereka berakhir, Rara menjadi Janda. Namun, bukan janda biasa, Rara adalah janda spesial yang disebut dengan ‘Randa Kabla’, yaitu janda yang masih perawan.

Sebagai seorang ayah, kepulangan puteranya yang hatinya remuk redam setelah dipaksa perkawinannya berakhir tentu saja membuat hati Ki Gede Banyureka masygul. Apapun alasannya, harga diri Sang Demang merasa terinjak-injak. Bagus juga sakit hati bukan kepalang, cintanya sudah berubah menjadi benci ditingkahi dendam. Namun, mereka tak berani macam-macam apalagi sampai mengajukan protes, sebab Adipati Wargautama adalah orang paling berkuasa di Kadipaten Wirasaba. Sang Demang dan puteranya pun hanya bisa memendam rasa dendam yang bersarang di hati mereka.

Tahun berganti. Suatu saat, ada pengumuman permintaan upeti dari Sultan Pajang kepada kadipaten-kadipaten bawahannya sebagai tanda kesetiaan. Tak tanggung-tanggung, upeti yang diminta sang sultan adalah seorang gadis suci yang akan dipersunting menjadi selirnya.

Sebagai informasi, Kadipaten Wirasaba diperkirakan berdiri pada abad ke XV, era kemunduran Majapahit dan lahirnya Kesultanan Demak Bintoro. Saat Demak runtuh dan beralih ke Kesultanan Pajang yang dipimpin Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, Kadipaten Wirasaba ikut menjadi wilayah bawahannya.

Singkat cerita, Adipati Wargautama memutuskan untuk mempersembahkan Rara Sukartiyah kepada Baginda Sultan sebagai upeti. Ia berangkat pada hari Sabtu Pahing mengantar anaknya sendiri ke Pisowanan Agung di Pajang dan dengan bangga mengatakan kepada sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci. Rara pun tak keberatan menjadi selir Jaka Tingkir yang terkenal gagah dan sakti mandraguna.

Peristiwa itu rupanya tak luput dari radar Ki Gede Banyureka. Ia merasa itu kesempatan baik untuk menuntur balas ke bekas besannya itu, maka, Ki Gede Banyureka dan Bagus Sukra mennyusul ke Pajang dan menghadap ke sultan sesaat setelah Adipati Wargautama undur diri. Keduanya mengatakan bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu adalah bekas isteri Bagus Sukra yang tentu saja statusnya janda, bukannya perawan suci.

Jaka Tingkir murka luar biasa mendengar laporan itu. Ia merasa ditipu dan dihina oleh Adipati Wargautama. Tanpa pikir panjang, tanpa klarifikasi, Ia langsung menitahkan seorang ‘gandhek’ (prajurit pengawal sultan) agar memburu dan membunuh adipati yang dianggapnya sudah kurangajar itu. Ki Banyureka dan anaknya mohon diri, setelah melihat hasutannya berhasil. Dendam mereka terbayar lunas.

Setelah mereka berdua undur diri, sultan baru terpikir untuk klarifikasi, maka dipanggilah Rara Sukartiyah untuk dimintai keterangan. Putri Adipati Wirasaba nan jelita itu menjelaskan dan mengakui bahwa dirinya memang pernah menjadi isteri Bagus Sukra, namun dirinya masih suci karena belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang isteri. Sang Sultan terhenyak. Ia menyadari bahwa keputusan sungguh keliru dan diambil dengan sangat grusa-grusu. Segera diperintahkan lagi seorang gandhek agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang sudah dititahkan.

Sementara itu, sesudah sowan ke sultan, Adipati Wirasaba mampir ke kediaman Lurah Bener, sahabat lamanya untuk beristirahat. Ki Lurah Bener yang memiliki ‘rumah tusuk sate’ menjamu Sang Adipati dengan hidangan nasi dan lauk pindang daging angsa. Saat asyik bersantap, tibalah gandhek utusan Sultan Pajang yang dtitahkan untuk membunuhnya.

Prajurit Pajang itu langsung bersiap dengan tombak terhunus. Sepeminuman teh, saat Gandhek dan Adipati berdebat, datanglah prajutit kedua yang tampak tergesa sembari berteriak-teriak diatas kuda. Tatkala prajurit pertama yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya melambaikan tangan. Isyarat itu ditanggkapnya sebagai tanda untuk segera mengeksekusi, maka dibenamkanlah tombak ke dada Sang Adipati.

Adipati Wirasaba tersungkur berlumuran darah. Sesaat sebelum menemui ajalnya, Ia konon sempat memberi pesan kepada orang-orang Wirasaba dan anak turunannya. Pertama, jangan bepergian di hari Sabtu Pahing, hari di saat Ia berangkat ke Pajang mengantar anaknya. Kedua, jangan makan pindang daging angsa/banyak seperti hidangan Ki Lurah Bener di hari kemalangannya. Ketiga, jangan menempati rumah tusuk sate seperti tempat kejadian perkara. Keempat, jangan menaiki kuda berwarna bulu dawuk bang seperti tunggangannya saat hari naas itu. Kelima, adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka keturunan Ki Gede Banyureka yang telah memfitnahnya.

Kedua Gandhek kembali ke Pajang untuk melaporkan peristiwa yang terjadi. Sultan Pajang kemudian merasa bersalah dan hendak meminta maaf, maka, Ia memanggil anak keturunan Adipati Wargautama. Namun, tidak ada yang berani menghadap ke Pajang lantaran takut mengalami nasib serupa dengan ayahandanya. Keturunan Adipati Wargautama ada lima, Raden Ayu Kartimah (dinikahi Jaka Kaiman), Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Si Bungsu Rara Sukartiyah yang dipersembahkan menjadi selir Sultan Pajang.

Akhirnya, Jaka Kaiman bersama RA Kartimah akhirnya memberanikan diri mewakili saudara-saudaranya menghadap sultan. Ternyata bukan teguran atau hukuman yang ditakutkan saudara-saudaranya, namun penobatan penggantian kekuasan. Sebab, Jaka Kaiman yang berani datang, Ia kemudan yang justru diberi kepercayaan oleh Sultan Hadiwijaya untuk menggantikan ayah mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Adipati Wargautama II.

(Jaka Kaiman, tadinya merupakan abdi dalem yang kemudian diangkat menantu oleh Adipati Wargautama setelah tahu bahwa Ia bukanlah abdi dalem biasa, akan tetapi masih keturunan Raden Haryo Baribin, cucu Prabu Brawijaya dari Majapahit)

Namun, Jaka Kaiman tahu diri dan tak mau rakus menguasai Kadiparen Wirasaba, Ia sadar hanyalah anak menantu dan sudah diberi kemuliaan di Wirasaba. Oleh karena itu , Ia tak enak hati sehingga kemudian meminta izin Sultan untuk berbagi kekuasaan dengan semua saudaranya. Maka, pada 1582, Jaka Kaiman membagi Kadipaten Wisaraba menjadi empat wilayah. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Ngabehi Wargawijaya yang tetap menjadi Kadipaten Wirasaba dan kemudian hari menjadi Purbalingga, wilayah Merden diberikan kepada Ngabehi Wirakusuma menjadi yang menjadi cikal bakal Kadipaten Cilacap, wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Ngabehi Wirayuda yang berkembang menjadi Kadipaten Banjarnegara, dan ia sendiri menguasai Wilayah Kejawar yang kemudian menjadi Kadipaten Banyumas.

Akhirnya, Wirasaba pun terbagi menjadi empat kadipaten yang kini semuanya berada di wilayah eks Karesidenan Banyumas. Raden Jaka Kaiman pun dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat karena Ia ‘mara papat’ alias membagi empat Kadipaten Wirasaba.

Jadi, bisa dibilang Wirasaba itulah cikal bakal Banyumas, Cilacap, Banjarnegara dan Purbalingga. Wirasaba kini menjadi sebuah desa yang ada di Kecamatan Bukateja. Desa itu mencuat karena akan saat ini tengah dibangun sebuah bandara komersial yang akan menjadi pintu gerbang bagi kabupaten di wilayah eks Karesidenan Banyumas. Sepertinya sejarah kembali berulang ke akarnya.

Tags