Sunan Gribig ( Ki Ageng Gribig)

Sunan Gribig ( Ki Ageng Gribig)
15-May-2019 | sorotnuswantoro indonesia

* Sunan Gribig (Ki Ageng Gribig) *

Sejarah Ki Ageng Gribig Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur atau ada yang menyebutkan Syekh Wasihatno, merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit.

Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja
terakhir kerajaan Majapahit.

Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan, Jatinom, Klaten.

Namun menurut Buku Muhammadiyah Setengah Abad
1912-1962 terbitan Departemen
Penerangan RI disebutkan bahwa Ki Ageng Gribig masih keturunan Maulana Malik Ibrahim yang berputra Maulana Ishaq, yang berputra Maulana & 39;Ainul Yaqin (Sunan Giri), yang berputra Maulana Muhammad Fadhillah (Sunan Prapen) yang berputra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribig.

Jadi jika ditarik kesimpulan, KH
Achmad Dahlan yang bernama lahir Muhammad Darwis pendiri
Muhammadiyah itu masih keturunannya Ki Ageng Gribig.

Dakwah Ki Ageng Gribig sangatlah mengena pada masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama Hindu dan Budha.

Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja, namun menyebar luas sampai ke daerah Boyolali dan Surakarta.

Ki Ageng Gribig sangat pandai dalam strategi dakwah, hingga
masyarakat yang pada waktu itu
masih kental dengan keyakinan
pada pohon dan batu besar, menjadi beriman pada Allah SWT.

Keluhuran serta jasa beliau
senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali.

Ki Ageng Gribig juga termasuk ke dalam tokoh yang berpengaruh, karena dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma penguasa Mataram.

Ki Ageng Gribig berhasil memadamkan niat Adipati Palembang yang ingin "mbalela"
kepada Mataram tanpa melalui
pertumpahan darah.
Oleh karenanya, kemudian Sultan
Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka.

Namun, Ki Ageng Gribig tidak
bersedia dan lebih memilih menjadi ulama dari pada jadi pejabat.

Meskipun menolak, hubungan Ki
Ageng Gribig dan Sultan Agung
tetaplah baik, bahkan semakin
dekat.

Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom.

Mesjid Alit, mesjid pertama yang
dibangun di Jatinom, adalah
buah tangannya. Dan bahkan selang tak lama kemudian, atas perintah Sultan Agung, Ki Ageng Gribig mendirikan mesjid baru yang jauh lebih besar.
Mesjid yang berjarak hanya 100
meter dari Masjid Alit ini diberi
nama Mesjid Besar Jatinom.

Banyak peninggalan-peninggalan
beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya.

Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum& 39;at, serta kolam wudhu yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari Masjid yang bernama Sendang Plampeyan, Gua Suran dan juga Gua Belan.

Gua Suran letaknya tak jauh dari
Mesjid Besar Jatinom. Gua ini,
dulunya, adalah tempat bersemedi Ki Ageng Gribig.
Konon, ular dan macan menjadi
penjaganya, saat ia bersemedi.

Meski berbentuk terowongan,
Gua Suran ini tidak terlalu dalam,
bahkan lebarnya hanya selebar
tubuh manusia.

Tingginya, memaksa orang yang
masuk ke dalam untuk merunduk, agar tak terantuk atap gua.
Tak jauh dari Gua Suran ini, Ki
Ageng Gribig sempat memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai tempat ibadah, saat ia pertama kali datang ke Jatinom.

Sementara Gua Belan, yang letaknya di sebelah timur Gua Suran, juga merupakan tempat bersemedi Ki Ageng Gribig, yang terkadang dijadikan tempat bertemu dengan Sultan Agung.

Disebut-sebut, ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, keMakkah al- Mukarromah, dalam waktu singkat, bak orang melempar batu.

Sehingga hampir setiap hari, ia
dapat pergi ke Tanah Suci, dan
kembali ke kampungnya. Suatu hal yang mustahil di zaman itu dan saat ini.

Suatu Jum’at di Bulan Safar (ada
yang menyebutkan tanggal 15
Safar), Ki Ageng Gribig kembali
dari perjalanannya ke Tanah Suci.

Ia membawa oleh-oleh, 3 buah
penganan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai.

Bersama sang istri, ia pun kemudian membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat, yang berebutan
mendapatkannya.

Sambil menyebarkan kue-kue ini,
iapun meneriakkan kata "Ya Qowiyyu", yang artinya "Tuhan,
Berilah Kekuatan" atau bisa juga
berarti "Allah Yang Maha Perkasa
(Kuat)".

Secara utuh, Ki Ageng Gribig
berucap: Ya qowiyyu qowwina
wal muslimin ya qowiyyu ya
rozaq warzuqna wal muslimin”.

Yang Artinya, Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau
memberikan kekuatan kepada
kami semua kaum muslimin.
Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan
Pemberi Rejeki, semoga Engkau
memberikan rejeki kepada kami
semua kaum muslimin.

Penganan ini kemudian dikenal
dengan nama apem, saduran
dari bahasa Arab "Affan", yang
bermakna Ampunan.
Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta.

Sejak saat itu, tepatnya sejak
tahun 1589 Masehi atau 1511
Saka, Ki Ageng Gribig selalu
melakukan hal ini.

Ia pun mengamanatkan kepada
masyarakat Jatinom saat itu,
agar di setiap Bulan Safar,
memasak sesuatu untuk
disedekahkan kepada mereka
yang membutuhkan.
Amanat inilah yang mentradisi
hingga kini di Jatinom, Klaten,
Jawa Tengah, yang kemudian
dikenal dengan "Yaqowiyu".

Sebutan Ki Ageng Gribig melekat
pada diri beliau konon dikarenakan kesukaan Ki Ageng
Gribig untuk tinggal di rumah
beratap gribig (anyaman daun
nyiur).

Makam Ki Ageng Gribig dibuat
dari batu merah dan kayu, terletak di Dukuh Jatinom, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom, yang berjarak sekitar 9 km dari kota Klaten, Jawa Tengah.

Versi lain tentang Ki Ageng Gribig juga terdapat di Malang, Jawa Timur.

Hanya saja Ki Ageng Gribig ini
disebutkan sebagai putra dari
Pengeran Kedawung yang juga
salah seorang keturunan Lembu
Niroto, pemilik panembahan
Bromo.

Lembu Niroto sendiri adalah
putra ketiga dari Raja Brawijaya
XI yang memerintah Majapahit
pada 1466-1478.

Jadi Ki Ageng Gribig itu cicit
Raja Brawijaya XI.

Ki Ageng Gribig ini konon
disebut-sebut sebagai salah satu
murid kesayangan Sunan
Kalijaga yang ada di Malang.
Tak heran jika Ki Ageng Gribig
menjadi salah seorang ulama
yang tersohor di Malang pada
tahun 1650.

Makam Ki Ageng Gribig ini kini
terletak di Jalan Ki Ageng Gribig
Gg. II, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Makam seluas satu hektar itu
berada persis di sebelah sebuah
masjid yang berdiri di jalan itu
yang juga bernama Masjid Ki
Ageng Gribig.

Di antara susunan batu nisan
dan bangunan kijing yang ada di
kompleks makam terdapat sebuah bangunan berukuran sekitar 7 x 4 meter di sisi barat.

Berbeda dengan bangunan lain,
dua pintu yang menghadap utara
selalu tertutup rapat. Bahkan
digembok dari luar. Di dalam
bangunan itu terdapat dua buah
makam. Itulah makam Ki Ageng
Gribig dan istrinya.

LOKASI: Masjid Besar Jatinom
Makam Sunan Gribig (Ki Ageng
Gribig) Jalan Masjid Besar Jatinom,Jatinom, Kabupaten Klaten,Jawa tengah.

Tags